Aman & Damailah Negriku

AMAN DAN DAMAILAH NEGERIKU

Fatwa-fatwa para ulama tentang pemberontakan ( baca people power )

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tidak bolehnya keluar dari ulil amri / memberontak kecuali dengan beberapa syarat:
  1. Kekufuran yang jelas (penguasa melakukan kekufuran yang jelas).
  2. Tidak ada kesamaran tentang kekufurannya dan bukan ke-fasikan.
  3. Jelas-jelas dia melakukannya dengan terang-terangan bukan ta’wil.
  4. Ada bukti dan dalil yang jelas dari Al-Qur-an dan As-Sunnah serta Ijma’ tentang kekufurannya.
  5. Ada kemampuan (untuk keluar dari mereka).[1]
Syaikh al-Albani rahimahullah pernah ditanya, apakah boleh keluar/ memberontak dari penguasa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah? (Penulis ringkas jawabannya,) Kata beliau: “Kami berkesimpulan: ‘Tidak boleh keluar (memberontak) pada zaman sekarang ini, karena mafsadah (kerusakan) yang diakibatkannya lebih besar dengan terbunuh (tumpahnya darah) kaum Muslimin dengan sia-sia dan tidak ada manfaatnya, bahkan kerusakan-kerusakan tersebar di mana-mana dan tampak pengaruh yang jelek pada masyarakat kaum Muslimin.’” [2]

 

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz (wafat th. 1420 H) rahimahullah menjelaskan pula tentang masalah tersebut:

  1. Harus melihat pada maslahat dan mafsadah.
  2. Yang menjelaskannya adalah ulama Ahlus Sunnah.
  3. Harus memperhatikan kaidah: “Menolak bahaya harus didahulukan daripada mengambil maslahat.”
  4. Jika akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar sebaiknya harus bersabar. [3]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berbeda dengan

 

Mu’tazilah dan khawarij yang membolehkan keluar dari kepemimpinan para amir/pemimpin yang melakukan dosa besar / zhalim walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sedangkan pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah dan juga khawarij seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena akan timbul bahaya-bahaya yang sangat besar, baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan, pertumpahan darah, intervensi dari pihak musuh, dan tidak adanya rasa aman bagi kaum Muslimin. [4]

———————

[1]. Kaifa Nu’aalij Waaqi’anal ‘Aliim yang dikumpulkan oleh Abu Anas ‘Ali bin Husain Abu Lauz (hal. 77-78).

[2]. Ibid, (hal. 79-80).

[3]. Lihat k itab al-Ma’luum min Waajibil ‘Ilaaqah bainal Haakim wal Mahkuum (hal. 7-10, 14) oleh Abu ‘Abdillah bin Ibrahim al-Bulaithih al-Wa-ili.

[4]. Lihat pembahasan tentang bagaimana bermu’amalah dengan ulil amri (penguasa), kitab Mu’aamalatul Hukkaam fii Dhau-il Kitaab was Sunnah oleh ‘Abdus Salam bin Barjas bin Nashir ‘Abdul Karim t, cet. V, th. 1417 H.

Abu Hilmy A.Fauzi, S.Pd.I.